Widget Image
LARGEST ONLINE SHOP
Cum sociis natoque penatibus et magnis part masa urient montes, nascetur ridiculus mus.
SIGN UP FOR WALKER

    Pop-up Image

    GET THE GOOD STUFFS

    Subscribe to the Walker mailing list

      Title Image

      Blog

      Kegelisahan dan Kerinduan Pada Yang-Riil Dalam Kumpulan Puisi Kenduri Waktu

      Kegelisahan selalu menghantui setiap diri manusia sepanjang hidupnya. Mungkin seseorang merasa gelisah karena adanya “sesuatu” yang mengancam dirinya atau adanya “sesuatu” yang dirasa hilang oleh dirinya. Dikatakan “sesuatu” di sini karena terkadang tak pernah terjelaskan; manusia bisa saja mendadak gelisah tanpa pernah mengerti secara pasti apa penyebabnya.

      Dalam pengertian Heidegger, kegelisahan (anxiety) merupakan akibat dari “keterlemparan” Dasein di dunia, atau sederhananya, keterlemparan “manusia” di dunia begitu saja.1 Manusia terlempar ke dunia tanpa kehendaknya sendiri. Ia hadir begitu saja tanpa ia minta untuk ada di dunia ini. Karena itu, kegelisahan menjadi suatu momen eksistensial dari “keterlemparan” tersebut.

      Sedikit berbeda dengan Heidegger, Lacan memahami kegelisahan sebagai konsekuensi (psiko)logis konsep mendasarnya tentang kehilangan dan kekurangan. Hal ini terjadi pada tahap awal manusia lahir ke dunia sebagai seorang bayi, yang kemudian mengalami keterpisahan secara radikal dengan sang ibu—sebagai objek primordialnya. Kehilangan akan sosok sang ibu inilah yang nantinya memunculkan kekurangan (lack), dan melahirkan kegelisahan dan hasrat kerinduan akan kepenuhan.

      Kehilangan, kegelisahan, dan kerinduan akan kepenuhan itu, tercermin dengan sangat kuat dalam antologi puisi Lukman A Sya yang berjudul Kenduri Waktu, diterbitkan oleh Buruan & Co., tahun 2019.

      Tema-tema yang hadir dalam puisi Kenduri Waktu memang cukup beragam, seperti religiusitas, kritik sosial, sejarah, dan lain sebagainya. Namun, yang paling kentara, ketika melahap halaman demi halaman dari kumpulan puisi Lukman A Sya adalah perihal kegelisahan dan kerinduan akan kepenuhan. Bahkan, puisi-puisinya yang bernapaskan religius dan sejarah sekalipun merupakan cerminan dari kerinduan akan kepenuhan tersebut, seperti kerinduannya akan Tuhan. Atau pada sosok sang ibu yang berulangkali muncul dalam puisi-puisi Lukman A Sya.

      Bila mataku terpejam
      aku mimpikan ketuban silam
      adalah surga muasal aku dihiduplindungkan
      di rahim bunda, saat dunia serba bahagia

      (Bayi Modern)

      Telah menjadi hal lumrah jika surga selalu dikaitkan atau dipahami dalam koridor keagamaan. Namun, sedikit berbeda dengan Lukman A Sya yang memahami surga sebagai rahim bunda, yang melampaui dan mendahului bahasa. Meski demikian, pemaknaan akan penanda surga tak jauh berbeda dengan narasi religiusitas. Surga di sini dapat diartikan pula sebagai kebahagiaan purna, kelengkapan atau kepenuhan. Setiap orang tentu saja menginginkan dan merindukan hal tersebut, tak terkecuali Lukman A Sya.

      Karena itu, di saat tertidur pun (mataku terpejam) Lukman A Sya selalu memimpikannya: kerinduan akan surga sebagai simbol kebahagiaan purna atau kepenuhan selalu membayangi diri Lukman A Sya. Dan surga itu tak lain merupakan rahim ibu. Kerinduan Lukman A Sya pada rahim ibu ini merupakan metafora dari kerinduan akan kepenuhan.

      Kepenuhan dalam psikoanalisis Lacanian, disebut pula sebagai Yang-Riil (the Real), yaitu dunia yang mendahului bahasa atau sebelum ditangkap oleh bahasa.2 Derrida menyebut Yang-Riil sebagai “kemurnian” (‘authenticity’), suatu kemutlakan milik dirinya sendiri. Dengan kata lain, Yang-Riil merupakan kehadiran yang mendahului dan melampaui bahasa.3

      Mungkin agar lebih mudah dipahami, secara konkrit, Yang-Riil ini bisa disebut pula sebagai “dunia yang entah”, seperti saat manusia masih dalam rahim ibunya atau ketika sang bayi masih sangat dekat dengan sang ibu pada usia 0-6 bulan. Pada kondisi ini, manusia belum memasuki kebudayaan, sehingga belum mengenal bahasa. Itulah mengapa Yang-Riil ini disebut mendahului dan melampaui bahasa, karena bahasa mewakili kebudayaan, sosial, atau singkatnya, mewakili realitas. Dalam Yang-Riil, belum ada kekurangan dalam diri manusia, dan yang ada hanyalah kepenuhan dan kelengkapan. Kerinduan akan kepenuhan (Yang-Riil) ini dapat dilihat dari petikan larik puisi berikutnya.

      Segala yang nrima memang ibu
      indung segala tanjung, anak-anak munjung
      harum lisung

      (Pasang, Hujan, Pulang)

      Guru, ajarkan aku menangis
      seperti sungai panjang tak henti sembahyang
      sampai di lautNya, sampai segala buih sendu
      adalah pesona dekapan ibu

      (Rubaiyat Guru)

      Bagi Lukman A Sya, ibu merupakan puncak dari segala kebahagiaan (indung segala tanjung), di mana ia merasakan kepenuhan (anak-anak munjung). Hanya ibu yang dapat menerima segala keluh-kesah, kesakitan, dan kekurangan sang anak. Atau bahkan, hanya ibulah yang bisa menambal atau mengisi kekurangan dari diri (subjek) Lukman A Sya.

      Dalam psikoanalisis Lacan, pada tahap yang-Riil, yang serupa dengan fase pra-odipal Freudian, sang bayi masih berupa “gumpalan” (mass) yang tak dapat dipisahkan dari objek maternalnya, atau sang ibu.  Dalam kondisi ini, belum terdapat konsep perbedaan; kebutuhan sang bayi selalu terpenuhi melalui sang ibu, seperti makan (air susu ibu) atau keamanan (dekapan sang ibu). Dan karenanya, tak ada perbedaan antara diri sang bayi dengan sang ibu atau lainnya, yang ada hanyalah kebutuhan (need). Dalam ranah Yang-Riil, tak ada kebutuhan yang tak terpuaskan, tak ada kehilangan dan kekurangan, dan karenanya bahasa tak diperlukan. Karena itulah Yang-Riil disebut sebagai dunia yang mendahului bahasa.

      Namun, puncak kebahagiaan sang anak dengan sang ibu pun sirna, karena kehadiran sang Ayah yang sangat berperan penting dalam keterpisahan (kastrasi) sang anak dengan sang ibu. Akibat dari kastrasi oleh sang Ayah itulah, yang membuat sang anak selalu merindukan sosok sang ibu.

      Sebagaimana Lukman A Sya yang merindukan pesona dekapan ibu sebagai segala muasal kebahagiaan dan kegelisahan yang dialaminya. Karena kegelisahan selalu merupakan reaksi akan suatu kehilangan, yakni kehilangan akan sosok sang ibu. Dan kehilangan akan sosok sang ibu akibat kastrasi oleh sang Ayah ini disadari pula oleh Lukman A Sya.

      Sebab kehilangan akibat kastrasi tersebut selalu meninggalkan jejak (trace) dalam diri (subjek) Lukman A Sya sebagai kekurangan (lack). Lukman A Sya pun mencoba untuk memahami jejak tersebut, seraya membayangkan kematian sang Ayah.

      Jejak itu mengarah ke belakang rumah
      di mana makam ayah jadi sejarah

      Tidak. Jejak itu mengarah ke dalam hatiku
      ia langkah perihku sendiri
      sejak waktu tak lagi berpihak padaku

      Kenapa tak juga datang kekasih malang
      serahkan setumpuk sajak yang dulu
      kukirim-kirimkan ke batinnya yang rindu

      Tidak. Jejak itu mengarah ke kekosongan
      bukan jejak nabiku
      bukan jejak imamku

      mungkin jejak lamunan seorang yang pergi
      ke parlemen, menyerahkan pekik frustasi

      Tidak. Jejak itu mungkin jejak tuhan sendiri
      yang ragu mengirim maut ke kemiskinan
      barangkali benar, barangkali salah

      Tidak. Aku tahu, jejak itu jejak sajakku sendiri
      yang malu-malu membunuh api sepi

      (Memeriksa Jejak Siapa)

      Saya kutip agak lengkap puisi Lukman A Sya tersebut. Karena puisi ini, bagi saya, sangat menarik untuk memperlihatkan kondisi kegelisahan akibat kehilangan dan kekurangan yang dialami Lukman A Sya. Dalam sajak yang berjudul Memeriksa Jejak Siapa, tampak jelas bahwa Lukman A Sya melakukan identifikasi secara terus-menerus, dan berusaha untuk menyangkalnya kembali.

      Identifikasi terjadi dalam wilayah Yang-Simbolik, atau disebut pula sebagai ranah kebudayaan dan sosial. Penanda-penanda seperti Ayah, Sejarah, Nabi, Imamku, Parlemen, dan Tuhan, merupakan penanda utama (master signifiers) dalam kebudayaan dan sosial, yang hadir dalam puisi tersebut. Identifikasi merupakan suatu upaya untuk menutupi kekurangan akibat kehilangan sosok sang ibu yang dialami Lukman A Sya.

      Dalam proses identikasi itu, pertama-tama Lukman A Sya mengidentifikasi dirinya dengan sang Ayah. Sang Ayah di sini tentu saja tak hanya dipahami sebagai sang Ayah biologis dari Lukman A Sya, tapi sebagai simbol hukum tertinggi atau kebudayaan. Dalam psikoanalisa Lacanian, sang Ayah ini dipahami sebagai simbol hukum tertinggi karena ia dianggap seolah-olah memiliki phallus. Karena itu, phallus disebut sebagai fungsi Imajiner dan Simbolik dari organ penis (konsep ini merupakan pengembangan Lacan dari konsep Oedipal Freud).

      Imajiner phallus adalah objek imajiner yang berada antara anak dan objek maternalnya (ibu), yang dipahami oleh sang anak sebagai objek hasrat dari ibunya. Sang anak mengidentifikasikan dirinya dengan objek ini. Tapi, sang Ayah hadir dan melakukan kastrasi terhadap sang anak dengan larangan kepada sang anak untuk menjadi phallus ibunya. Misalnya, larangan atas incest seperti dalam Oedipus Kompleks atau Sangkuriang Kompleks. Dalam konteks inilah, Lacan memperkenalkan istilah “Atas-Nama-Ayah” (Name-of-the-Father), yang digambarkan mewakili hukum masyarakat. Dalam budaya yang patriarkal, phallus dapat diartikan pula sebagai maskulinitas, atau mengikuti istilah Luce Irigaray, disebut sebagai phallogosentrisme.4

      Lukman A Sya menolak hal ini, dan baik disadari atau tanpa disadari, ia telah “membunuh” phallogosentrisme. Sang Ayah, dalam Imajiner Lukman A Sya, telah menjadi sejarah di belakang rumah (di mana makam ayah jadi sejarah). Lukman A Sya menyadari bahwa sang Ayah pada mulanya merupakan sosok penting yang ia identifikasi, yang diintrojeksikan ke dalam dirinya agar dapat memiliki sang ibu.

      Namun, identifikasi pada sang Ayah untuk menutupi kehilangan dan kekurangan dalam dirinya, selalu membuahkan kegagalan dan akhirnya hanya menyisakan jejak lainnya. Pada titik inilah, Lukman A Sya menolaknya, dan bergerak pada Sang Ayah lainnya (Nabi, Imamku, dst.). Ia terus melakukan identifikasi di ranah Yang-Simbolik untuk mengkompensasi kekurangan yang selalu menimbulkan kegelisahan di dalam dirinya. Meski pada akhirnya, Lukman A Sya selalu menolaknya. Identitas-identitas yang diakuisisinya dalam ranah Simbolik tetap saja tidak pernah cukup mewakilinya, sehingga memunculkan kegelisahan yang panjang.

      Kegelisahan tersebut yang membuat Lukman A Sya merasakan keperihan (ia langkah perihku sendiri) dan kekosongan (jejak itu mengarah ke kekosongan). Dan pada akhirnya, ia tahu bahwa jejak itu ada (membayang) dalam sajaknya sendiri, yang tak lain adalah kesepiannya akibat kehilangan dan kekuragan yang selalu ia rasakan. Namun, dalam momen paling sunyi-sepi itulah, Lukman A Sya menemukan kembali momen “eksistensial”-nya yang paling mendasar. Tentu saja bukan dalam artian Heideggerian, tapi dalam arti psikoanalisa Lacanian; sebagai kerinduan pada rahim ibu.

      Dalam pengajian yang sunyi dalam kobong
      yang tak pernah sepi dari cahaya
      kutemukan, kuuraikan harapan-harapanku
      ingin kembali fitri seperti di rahim ibu

      (Sebuah Paket untuk Perjalanan)

      Pada momen paling religius sekalipun, harapan-harapan mendalam yang muncul dalam diri Lukman A Sya adalah harapan untuk kembali menjadi fitri (suci) seperti dalam rahim ibu. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa momen kerinduan pada rahim ibu sebagai metafora dari kepenuhan ini merupakan momen kerinduan pada Yang-Riil. Karena hanya dalam ranah Yang-Riil, kepenuhan dan kelengkapan hadir, tidak ada kehilangan dan kekurangan, dan karenanya bahasa tak diperlukan.

      Namun, tentu saja hal itu tak akan pernah tercapai, sehingga membuat Lukman A Sya—dalam istilah Lacanian—menjadi subjek yang terbelah, subjek yang selalu merasa kurang. Atau dalam istilah Slavoj Žižek sebagai hollowed subject (subjek berlubang). Subjek berlubang atau subjek yang terbelah ini bak Odisius yang mengembara tak tentu arah menuju Ithaka, atau dalam ungkapan Lukman A Sya sendiri, seperti Sangkuriang yang gagal untuk menikahi ibunya dan akhirnya menjadi pengembara untuk menutupi rasa kehilangan dan kekurangan yang ia alami.

      Dalam puisinya yang berjudul, Burangrang, Reranting yang Dilemparkan Sangkuriang, Lukman A Sya pun mengidentifikasikan dirinya sebagai Sangkuriang, sosok legenda dalam kebudayaan Sunda. Sebagaimana telah diketahui, kisah tentang Sangkuriang Kompleks ini sama halnya dengan kisah Oedipus Kompleks, yakni kisah tentang seorang anak yang membunuh ayahnya dan kemudian ingin menikahi ibunya sendiri.

      Dengan mengidentifikasi dirinya sebagai Sangkuriang, ia menyadari kegagalannya untuk kembali pada sang ibu, meski telah membunuh sang Ayah (simbolis). Kerinduan pada sang ibu sebagai simbol dari kerinduan pada Yang-Riil inilah yang tercermin dengan sangat kuat dalam puisi-puisi Lukman A Sya.

      Lukman A Sya, sebagai penyair yang telah lama bergulat dalam dunia kesusastraan, telah sangat baik menggambarkan kondisi manusia yang selalu berkekurangan dalam puisi-puisinya. Manusia yang selalu berkekurangan ini yang membuat ia senantiasa bergerak kepada kepenuhan atau Yang-Riil. Meski pada akhirnya, setiap usahanya untuk mencapai kepenuhan itu selalu membuahkan kegagalan, dan akhirnya melahirkan kegelisahan yang akut.

      Dengan demikian, membaca puisi-puisi Lukman A Sya dalam antologi puisi Kenduri Waktu, adalah suatu ikhtiar untuk menangkap, memahami, dan menerjemahkan makna dari kegelisahan manusia, bahkan pada momen paling mendasar manusia, yakni keterpisahannya secara radikal dengan sang ibu. Puisi-puisi Lukman A Sya adalah puisi-puisi yang menyenandungkan kerinduan setiap manusia pada Yang-Riil.

      Catatan kaki:

      1. Menerjemahkan istilah Dasein sebagai manusia sebenarnya sangat problematis, karena Heidegger sendiri tak pernah menyebut “manusia” dalam bukunya, Being and Time. Istilah “manusia” ini bisa bermakna keumuman suatu spesies. Heidegger menganggap bahwa kata manusia adalah abstraksi (konsep) dari hal konkrit (manusia), yang mencerabut atau mereduksi keberadaannya di dunia. Karena itu menggunakan istilah Dasein, yang artinya dalam bahasa Jerman “Ada-di-sana”.
      2. Bruce Fink. The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. United Kingdom: Pinceton University Press. 1956, 25.
      3. Michael Lewis. Derrida and Lacan: Another Writing. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2008, 156.
      4. Istilah phallogosentrisme adalah gabungan dari kata phallus dan logosentrisme. Phallus menandakan otoritas maskulin, sedangkan logosentrisme adalah metafisika yang melandasi otoritas phallus atau maskulin tersebut. Menurut Irigaray istilah maskulin-feminin merupakan konstruksi wacana patriarkal phallogosentrisme. Lebih jelasnya lihat dalam Luce Irigaray, The Speculum of Other Women G.C. Gill, Itacha, NY: Cornell Uni Press, 1985.

      Tulisan ini dimuat di Buruan.co

      LEAVE A COMMENT

      You dont have permission to register